PRAMOEDYA membenci Mei. Semesta tahu. Tanggal 30 April lalu, sehari sebelum bulan berganti jadi Mei, Pram meninggal. Pram semasa hidupnya selalu bertentangan dengan Mei. Perlawanan terhadapnya membuat ia tersingkir. Tapi ia tetap melawan. Ia tetap menjaga keyakinannya. Tapi apa benar Pram membenci bulan Mei?
Saya kira bukan Mei benar yang ia tentang. Ingatan akan bulan itulah yang ia serang. Kita tahu sudah, di bulan ini sebuah organisasi pergerakan pertama didirikan. Tanggal pendiriannya kemudian dijadikan Hari Kebangkitan Nasional; awal tumbuhnya kesadaran berbangsa; hari nasionalisme lahir: 20 Mei. Kita pun setiap tahun memperingatinya. Konon untuk menjaga nilai-nilai perjuangan bangsa di masa lalu. Pun pada hari itu kita dilatih merenunginya.
Tapi tidak demikian Pramoedya. Baginya "Kebangkitan Nasional yang disenapaskan dengan kelahiran Boedi Oetomo (BO) terasa menyesatkan". Dalam pandangannya, BO merupakan gerakan priayi baru. Mereka baru karena kedudukan didapat berkat pendidikan Barat. Status sosial diperoleh berdasarkan kedudukan. Tapi priayi tetap priyayi. Mereka selalu mencari ketertiban dan ketenteraman dengan mengabdi pada pusat. Dan kini pusat mereka adalah pemberi nafkah: pemerintah kolonial.
Kita pun tahu, sejak berdiri BO sengaja menjauhkan diri dari kehidupan politik. Para priayi ini, sebagaimana dikatakan Miert, "beranggapan bahwa kehidupan politik yang bergelora dipersamakan dengan kekacauan, pemberontakan, dan kemelut". Sikap itu tentu tidak sesuai dengan watak orang Jawa. Saya kira hal itulah yang membuat ruang sosial dan budaya dipilih sebagai wilayah gerak: untuk menjaga ketertiban dan keserasian di Hindia.
Keadaan seperti itulah yang diinginkan olah kaum Ethis di awal abad ke-20. Harapan mereka sebagian terwujud dengan pendirian BO. Organisasi itu dianggap sebagai hasil karya pribumi yang telah mendapat pendidikan Barat. Kehadiran mereka pun tidak akan mengganggu kekuasaan pemerintah kolonial, karena Eropa adalah pusat yang telah berjasa. Budaya feodal pun dijaga. Dengan itu kita pun tahu, tak ada perubahan sikap yang tegas pada BO.
Tapi ada peringatan kebangkitan nasional pada 20 Mei. Ada tidaknya peringatan tidak menjadi persoalan benar bagi Pram. Tapi kita tahu, memilih suatu peristiwa untuk diingat berarti melupakan yang lain. Pilihan tidak pernah benar-benar hadir di ruang kosong. Ia sarat dengan pelbagai kepentingan, setidaknya kepentingan si pemilih yang juga merupakan hasil pergumulannya dengan ruang dan waktu. Ingatan ketika dipilih, berarti memaksa: apa yang mesti diingat dan mana yang harus dilupakan.
Saya kira wajar saja kalau Pram terus menentang karena kita dipaksa mengenang kekalahan sebagai kemenangan. Memperingati ketundukan sebagai kebangkitan. Mengingat keterbelengguan sebagai kebebasan.
Hanya, "kalau toh kebangkitan nasional diperlukan (...) disarankan hari kelahiran partai politik pertama: Indische Partij," tulis Pram. Pram pun sadar, "memang belum dipergunakan nama Indonesia namun sudah sejak berdiri telah menggagas nama dan masalah nasionalisme Hindia yang kelak diganti dengan nama Indonesia". Kita tahu nasionalisme Hindia yang digagasnya adalah "Hindie voor Indie"; gagasan kemerdekaan paling awal; sebuah kesadaran akan tanah air dan cita-cita membebaskan dari cengkeraman penjajah. Juga kita tahu, karena gagasannya itulah organisasi ini dianggap terlarang. Para pemimpinnya --Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemoe, dan Soewardi Soerjaningrat-- yang sejak awal menolak tunduk dan keras menentang dibuang ke Belanda. Barangkali sikap menolak tunduk, tidak kompromis, terhadap penjajah yang membuat Pram berpikiran kalau organisasi ini benar-benar merefleksikan jiwa nasionalisme yang sesungguhnya: kemerdekaan.
Tentang kemerdekaan itu sendiri sebenarnya benih-benihnya telah tumbuh beberapa tahun sebelum BO berdiri. Ada Raden Tirto Adi Soerjo yang oleh Pram disebut Sang Pemula. Ia orang pertama yang mendirikan organisasi modern, Sjarikat Prijaji di tahun 1906. Ia pula yang menjadi pelopor pers pribumi berbahasa Melayu, Medan Prijaji, pada 1907. Melalui koran ini ia menyebarkan gagasan-gagasannya tentang kemanusiaan: tak ada perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa lain. Semuanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Di Hindia kenyataannya lain. Bangsa pribumi dan bangsa asing, yang non-Eropa berada dalam penindasan Belanda. Tapi pun bukan terhadap Eropa saja ia bersikap keras. Terhadap kebudayaan Jawa yang feodal pun ia bersikap kritis. Karena mungkin feodalisme hanya akan membuat penjajahan tetap subur. Dengan itu ruang untuk kebebasan pun tergusur.
Bagi Pram, Raden Tirto dan Indische Partij lebih layak untuk diingat. Keduanya lebih mencerminkan kemerdekaan individu dan kelompok. Bebas dari cengkeraman orang lain. Tapi kita telah dipaksa mengingat BO. Mengenangnya setiap tahun. Dan mungkin seandainya, saat ini sebagian besar dari kita lebih suka berkelompok, menggantungkan diri kepada orang lain, wajar saja. Karena artefak ingatan yang dipilihkan untuk kita adalah ingatan tentang ketundukan, kepatuhan, dan kebergantungan.
Mengingat Raden Tirto dan Indische Partij berarti melawan. Karena ia tidak sesuai dengan apa yang mestinya diingat dari masa lalu. Ingatan terhadap keduanya hanya akan melahirkan pemberontakan. Karenanya kedua hal itu mesti dilupakan. Tapi Pram mengingatnya. Ia berkeras menjaga ingatannya. Bahkan dengan berani ia menyebarkan ingatannya itu. Karena itulah ia harus berhadapan dengan penguasa ingatan. Ia dianggap menentang. Tapi Pram seperti Tirto dan para tokoh IP, terus melawan. Ia tidak pernah takut. Walaupun sepertinya ia juga sadar bahwa ia tidak akan pernah menang. Ingatan terhadap masa lalunya harus kalah dengan mesin pengingat besar milik penguasa. Ia hanya punya kata.
Tapi "kata adalah senjata", kata Subcomandante Marcos. Ia pun telah menunjukkan keampuhannya. Kita tahu, ingatan Pram dipelihara oleh sebagian orang. Secara diam-diam, di tempat-tempat gelap. Mungkin mereka yang berkeras untuk menjaga ingatan itu tidak puas dengan ingatan resmi yang disebar luas.
Pramoedya meninggal sudah. Beberapa hari lagi 20 Mei. Apa masih kita akan memperingatinya?***
Disadur dari artikel: Gani A. Jaelani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar